Belajar mendalami sesuatu dengan cara ikut menyelaminya

Monday, 9 October 2017

Perlukah Reformasi Birokrasi Rumah Sakit?

Setumpuk persoalan dunia perumahsakitan di Indonesia seperti tidak ada hentinya. Dimulai dari kasus kematian, penelantaran pasien, kekurangan tenaga SDM, dan isu pencemaran lingkungan. Tentunya ini bukanlah sebuah cerita yang membanggakan. Apalagi, jika pemangku kepentingan tidak mengambil pelajaran dan tindakan dari serangkaian peristiwa tersebut sebagai bahan evaluasi terhadap sistem yang berlaku.

Baru-baru ini, kejadian yang menimpa seorang bayi bernama Debora di RS Mitra Keluarga sedang hangat diperbincangkan. Kejadian ini membuka mata publik bahwa tempat layanan kesehatan tidak bersahabat terhadap masyarakat. Sejatinya, rumah sakit merupakan fasilitas yang memberikan pelayanan kesehatan untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat.

Jika ditilik ke belakang, pada bulan Mei lalu seperti dilansir dari liputan6.com (9/5/2017), seorang ibu hamil dilaporkan meninggal di RSUP Kandou Manado atas dugaan keterlambatan tindakan medis. Masih segar juga diingatan publik terhadap meninggalnya pasien ibu hamil, Julia Fransiska Maketey di tempat yang sama. Kasus ini berlanjut ke pengadilan dan hakim telah memutuskan hukuman penjara untuk dokter Ayu dan sejawatnya atas kelalaian yang dilakukan. Bahkan, peristiwa ini memantik protes dari tenaga kesehatan khususnya tenaga medis untuk mogok kerja, tentu hal ini menambah buruk citra insan kesehatan di mata publik.

Aksi Solidiaritas Tenaga Medis (Sumber: https://goo.gl/iCxrbC)
Ketimpangan jumlah tenaga medis selalu dijadikan alasan ketidak optimalnya layanan kesehatan di pusat layanan kesehatan. Bagaimana tidak, rasio dokter terhadap 100.000 penduduk Indonesia di tahun 2015 menurut Kemenkes adalah 16,06 dokter. Angka jauh lebih rendah dari target pemerintah yaitu 45 dokter/100.000 penduduk pada tahun 2019. Salah satu penyebabnya adalah banyak dari dokter bekerja di luar fungsi layanan medis, seperti di bidang manajerial rumah sakit.

Adanya peraturan perundang-undangan mengenai keharusan rumah sakit dipimpin oleh tenaga medis (dokter dan dokter gigi) menjadi persoalan di beberapa daerah yang terbatas tenaga medis. Di sisi lain, timbul kerancuan apakah direktur rumah sakit tetap melakukan praktik medis untuk mempertahankan status profesinya atau melepaskannya. Kareanya tidak mengherankan di pagi hari menjadi pimpinan di struktural dan setelah jam kantor berpraktik di luar. Secara tidak langsung kondisi ini berkontribusi terhadap ketersedian tenaga praktisi medis atau mungkin saja dapat menurunkan mutu layanan.

Pengelolaan lingkungan khususnya limbah rumah sakit di Indonesia masih menjadi persoalan. Berdasarkan profil kesehatan Indonesia, pada tahun 2015 hanya 256 dari 2.488 rumah sakit atau 10,29%-nya saja yang melakukan pengelolaan limbah medis sesuai dengan standar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelola rumah sakit masih belum serius akan pentingnya pengelolaan lingkungna untuk meminimalisir dampak merugikan terhadap kehidupan sekitar.

Komitmen regulator dalam bentuk kebijakan yang dapat menjawab persoalan di tingkat operasional sangat penting dilakukan. Setidaknya kesalahan sistem pada tataran strategis diharapkan dapat dicegah dan dikelola.

Sumber: Profil kesehatan Indonesia 2015, liputan6.com
-------
Artikel di atas pernah ditayangkan di UC Wemedia pada tanggal 14 September 2017 dengan perubahan (http://tz.ucweb.com/9_1ETvl).
Share:

0 comments:

Post a Comment

Pelala

Total Pageviews